ada sebuah pepatah mengatakan "Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu". untuk seusiaku yang menginjak 19 tahun aku mampu mengartikannya, namun untuk seorang Arji yang baru berusia 8 tahun butuh penjelasan yang pasti dan harus disertakan bukti-bukti yang real, butuh dimensi waktu yang cukup untuk memformulasikan pepatah itu, seperti halnya merambat pada tebing yang terjal dengan bebatuan yang besar. seorang anak lelaki tunggal yang baru saja ditinggal ayahnya pergi untuk selama-lamanya. mulai saat ini dia menjadi sebatang kara, ibunya yang pergi meninggalkannya saat dia berusia 4 tahun. dan hingga saat ini, saat-saat dimana ayahnya yang sudah tutup usia ibunya pun tidak datang pada acara pemakaman ayahnya.
ini adalah malam ke 4 dimana Arji harus bisa melanjutkan hidup tanpa ayahnya. Arji yang duduk termenung pada bangku kayu di teras depan rumahnya menatap lekat langit-langit yang terlihat muram, malam yang dingin menusuk halus kulitnya, keheningan malam membuat Arji teringat pada masa-masa dimana ayahnya yang sering sekali bercerita tentang "Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu". walaupun sudah dijelaskan berkali-kali dia masih juga tidak mengerti maksud dari pepatah tersebut. malam yang semakin dingin, angin yang tak kunjung jenuh menghembuskan pusaran-pusarannya udaranya. taburan cerres dengan cita rasa vanila dan kue putri salju berwarna kuning yang bertaburan rapi pada tampah yang begitu besar ikut serta menghiasi malam ini, berharap Arji bisa tersenyum menatap dunia yang indah ini.
"mulai besok pagi aku harus mencari surga" teriak Arji dalam hati, seolah sedang berbicara sementara siluetnya masih terdiam. seperti seorang yang baru saja tersadar dari mimpi buruk, dengan gaya reflek Arji pergi masuk kedalam rumahnya.
di pagi yang cerah ini, embun pagi yang mulai membasahi dedaunan, serta matahari yang tak ingin ketinggalan absen dari dunia kecil ini. namun semuanya tidak secerah hati Arji yang seperti seorang yang linglung karena kehilangan jejak.
"aku harus mencari surga kemana?? sementara aku tidak tahu dimana ibuku berada sekarang ini" lagi-lagi gemuruh suara hati Arji mulai meraung seperti halnya seorang anak kucing yang meraung-raung meminta susu pada ibunya. dengan siluetnya yang masih terdiam.
tok.. tok.. tok..
(tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu)
"assalamualaikum ji" tak lama terdengar salam dari luar, suara yang bukan asing lagi. Bu Sarmin, seorang wanita setengah baya beranak 3. dia adalah tetangga sebelahnya Arji. semenjak ayah Arji meninggal dunia Ibu Samin selalu datang berkunjung kerumah Arji hanya sekedar untuk memberi makanan untuk Arji.
"iya waalaikumsalam Bu" cepat-cepat Arji membukakan pintu.
"ji, ini sarapan pagi untukmu, kebetulan Ibu buat onde-onde ini makan yah!!". sambil meletakkan sepiring onde-onde dimeja, Bu Samin seperti terperangah melihat Arji yang tidak biasanya sudah berpakaian rapi.
"ooh iyaa bu, terima kasih yah bu."
"lah ji, mau kemana kamu?? pagi-pagi begini sudah rapi??, hendak kesekolahkah??" tanya Ibu Samin penasaran.
"oiyah bu, aku hendak ke rumah pakdeku, aku titip rumah yah bu." serempet Arji sambil merapihkan baju-bajunya kedalam tas.
"tumben sekali kamu mau ketempat pakdemu, ada apa toh ji??"
"aku ingin mencari surga bu" jawab Arji singkat.
"mencari surga??" jawab Ibu Samin dengan nada bingung
"iyah bu, ayahku sekarang sudah tidak ada. aku harus mencari ibuku. karena itu aku harus pergi mencari surgaku bu."
"wweeaalah nak.. nak... kok Ibu tambah bingung. yoo opo iki. yoo wess lah sa;karepu dewe, tapi yoo hati-hati yoo !!"
"iya bu, aku pergi dulu yah bu"
"iiyoo, oiyah ji. iki Ibu ada uang sedikit untuk peganganmu dijalan yoo"
"ya ampun bu terima kasih banyak yah bu, maaf loh bu aku jadi ngerepotin ibu" jawab Arji setengah sungkan.
"iyoo ora opo-opo ji, Ibu sudah menganggapmu seperti anakku sendiri. yoo wees hati-hati yoo ji". jawab Ibu Samin setengah tidak tega membiarkan Arji pergi.
sembari menggemblok tas ransel yang terlihat gendut dengan beberapa tas jinjing Arji bergegas keluar rumah dengan Ibu Samin lalu mengkunci pintu rumahnya.
sepanjang perjalanan Arji terus memikirkan dan terus berdoa agar Pakdenya mengetahui keberadaan ibunya. rumah Pakde Arji tidak jauh dari rumanya hanya melewati beberapa dusun kecil, kira-kira dua jam perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai kerumah Pakde Sukerja. Pakde Sukerja adalah kakak dari Ibu Arji.
awan-awan hitam yang menggumpal disertai sinar matahai yang terlihat malu-malu meneangi dusun kecil ini serta hembusan angin yang bergerumuh hilir kemari menemani perjalanan Arji mencari surganya.
sesampainya Arji dirumah Pakde Sukerja, seluruh keluarga sempat dibuat terperangah oleh kedatangan Arji yang tiba-tiba. apa lagi setelah mendengarkan alasan Arji datang kerumah mereka. mencari surga, iyah itu adalah alasan Arji datang kerumah pakde Sukerja, dia ingin sekali betemu Ibunya. dia tidak ingin kehilangan surganya. Pakde Sukerja sempat bingung, entah harus berkata apa, sebab Arji tetap besih kukuh ingin sekali bertemu dengan Ibu kandungnya.
Pakde Sukerja mencoba menjelaskan dari awal, di awal dimana Ibu Arji memutuskan kerumahnya pada peristiwa malam itu, peristiwa empat tahun yang lalu ketika malam pertemgkaran bersama ayah Arji dan terpaksa Ibu Arji meninggalkan mereka. saat itu juga Ibu Arji memutuskan untuk pindah ke Jakarta, mencoba memulai berusaha kecil-kecilan di Jakarta. awalnya Pakde Sukerja memang mengetahui dimana Ibu Arji tinggal, tapi terdengar kabar terakhir Ibu Arji pindah rumah, entah dimana Pakde Sukerja tidak mengetahui lagi keberadaan Ibu Arji. namun itu semua sepertinya tidak membuat Arji menyerah untuk menemukan surganya, menemukan Ibunya kembali.
cuaca hari ini tidak secerah hati Arji, kemelut-kemelut di dada yang membuatnya terus bersih kukuh untuk menemukan Ibunya. malam ini memang terlihat kurang bersahabat, petir yang menggelegar membuat Arji terkaget dan memutuskan untuk cepat masuk kedalam rumah, dan lekas untuk pergi tidur mempersiapkan stamina yang kuat untuk besok pagi, karena besok pagi akan menadi hari pertama Arji mencari surganya.
"pakde, bude. aku pamit dulu yah. aku akan mencari Ibu ke Jakarta. pakde jangan khawatir aku pasti akan kembali lagi untuk membawa Ibu pulang." pamit Arji
"ji, kamu yakin mau ke Jakarta??. sebaiknya jangan lah ji. Jakarta itu adalah kota besar. dan berbahaya untuk anak seusia kamu. lagi pula alamat yang pakde punya belum tentu benar, Ibumu itu sering berpindah-pindah. pakde cuma takut nanti kalau ternyata alamat yang pakde kasih itu salah. yo opo ji." pakde Sukerja berusaha membujuk Arji, berharap Arji cepat mengurungkan niatnya untuk tetap pergi ke Jakarta.
"gak pakde, aku harus mencari surgaku. pakde tenang aja aku pasti bsa menemukan ibuku." tegas Arji.
"yoo wesslah kalau kamu tetep ngotot. tapi pakde gak bisa nganter kamu. sopo sing ngurus sawah pakde nanti"
"iyoo ora opo-opo pakde" jawab Arji tegas.
dengan keyakinan kuat untuk mencari surganya Arji melangkah menuju Jakarta, tempat dimana Ibunya berada. Saat itu Arji hanya bermodalkan nekat pergi ke Jakarta, entah Ibunya masih tinggal dialamat yang sama seperti yang diberikan oleh Pakde Sukerja atau tidak. cuaca hari ini cukup mendukung, cerah dan tidak sedikitpun terlihat awan-awan hitam menghias angkasa. tidak terasa sudah setengah perjalanan. Arji yang hanya duduk terdiam, tidak sedikitpun dia pejamkan matanya menatap lekat kaca jendela bus seperti halnya ingin mengabadikan moment-moment perjalanannya. sesekali dia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal, decak lidah terkadang terdengar seperti seolah bergerumuh sendirian. namun masih dalam siluet duduk terdiam.
tidak terasa setelah beberapa jam perjalanan di tempuh akhirnya sampai pada tempat tujuan. Terminal Kampung Rambutan dimana menjadi terminal akhir perjalanan Arji, Arji yang dengan keyakinan yang kuat turun dari Bus, mencoba bertanya pada orang-orang disekitar untuk menanyakan alamat yang telah diberikan oleh pakde Sukerja.
"permisi pak, apakah bapak tau alamat ini??" Arji mencoba menanyakan kepada seorang bapak-bapak penjual es doger di pinggir terminal.
"oohh, ade harus naik angkot lagi dari sini, nih nanti ade naek angkot jurusan depok. nah bilang aja sama abang angkotnya turun di margonda" jawab si penjual es doger.
"ohh iyah terima kasih yah pak"
":iya sama-sama dek"
dengan langkah lugas Arji mulai mengamati setiap bus yang berhilir mudik, tiba-tiba terdengar sang kenek berkata,
"aayoo depok, depok, depok......"
"pak depok yah??"
"iya dek,"
tanpa banyak berkomentar Arji langsung menaiki bus tersebut. mencoba mencari tempat duduk yang sekiranya kosong, namun Arji lebih memilih duduk disebelah pak supir, dengan alasan takut kelewatan.
para pedangang berlomba-lomba untuk menjajakan dagangannya. namun tidak sedikitpun Arji tergiur, yang hanya dipirannya saat ini adalah bisa bertemu dengan ibunya kembali.
tanpa bermalu-malu lagi Arji mencoba bertanya kepada bapak kondektur dengan memberikan secaik kertas berisikan alamat yang diberikan oleh Pakdenya.
"ooh ini mah nanti adek turunnya di deket stasiun lenteng agung dek, nanti saya kasih tahu kalau udah mau deket stasiun yah dek" jawab pak kondektur
"ohh iya terima kasih pak"
sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Arji melengok kesana kemari memperhatikan setiap perjalanan. waspada takut-takut kelewatan. tidak lama kemudian pak kondektur memberitahukan kepada Arji aga dia bersiap-siap untuk turun sebab sebentar lagi akan sampai. dengan langkah sigap Arji turun dari bus yang dia tumpangi, mencoba menelusuri jalan terlihat ramai dengan kendaraan berhilir mudik. langkah kaki Arji tetuju pada sebuah warung rokok, ini bukan kali pertama Arji bertanya mencoba memberkan secarik kertas kepada pemilik warung. berharap pemilik warung mengetahui alamat yang dimaksud Arji.
"ooh ini mah gak jauh dari sini dek, kamu tinggal jalan aja lurus, terus nanti ada masjid Baitul Karim adek belok kiri. terus aja disitu tinggal tanya kontrakannya Pak Junaedi, pasti orang-orang situ tau kok dek"
"ooh iyah, terima kasih yah pak"
selangkah demi selangkah Arji lalui dengan semangat, dengan tasnya yang terlihat gendut. hingga akhirnya dia temukan masjid yang dimaksud bapak pemilik warung tersebut, tanpa berbasa-basi Arji bertanya kepada salah seorang disana,
"permisi pak, kalau rumah kontrakan bapak Junaedi dimana yah pak??"
"iyahh disini. saya sendiri orangnya"
"ooh, bapak, bapak Junaedi??, kebetulan kalau gitu pak"
"ada apa yah dek, sepertinya datang dari jauh?"
"iyah pak, perkenalkan saya Arji anaknya ibu Suyani yang mengontrak dirumah bapak."
"ibu Suryani??, oooaalah dek, belum lama ini Ibu Suryani sudah tidak tinggal disini lagi dek"
"lantas tinggal dimana pak??"
"waduh dek, saya juga kurang tahu."
"... "
Arji begumam dalam hati " ya Allah haus kemana lagi aku mencari Ibu".
"tunggu dek, saya kurang tahu yah Ibu Suryani pindah dimana, tapi yang saya tahu dia suka dagang di erminal dek. dagang nasi kucing gitu dek. coba saja kamu kesana"
"ohyah pak?? dimana pak?? dimana diterminal mana??"
"di terminal depok sini dek, tidak jauh kok kamu cuma naik angkot kecil saja dari sini"
"tapi disebelah mananya ya pa?"
"kalau tidak salah itu tidak jauh dari pintu masuk terminal dek"
"oh yasudah kalau begitu, terima kasih yah pak"
" iya sama-sama"
dengan langkah cepat Arji melangkah, tidak ada sedikitpun dibenaknya untuk berhenti mencari surganya, mencar ibunya. cuaca yang mulai terlihat mendung, disertai angin yang begitu kencang tak mengurungkan niat Arji untuk terus melangkah.
tibalah dia di sebuah terminal yang cukup besar, dia susuri jalan dengan penuh keyakinan. tatapan matanya yang tidak sedkitpun absen dari rumah makan kecil yang berjejeran di pinggir terminal. satu persatu dia perhatikan dengan seksama, namun tidak satu pun dia temukan rumah makan bertuliskan nasi kucing.
entah perasaan apa yang bergelumut dihati Arji, terus berharap dia menemukan umah makan itu. hingga hujan pun turus dengan sangat deras, petir yang menggelegar serta kilat yang tak kuasa seperti seolah memotret dirinya.
"ya Allah kemana lagi aku harus mencari ibuku, aku rindu padanya ya Allah. temukan aku dengan Ibuku dengan surgaku ya Allah". gumam Arji dalam hati.
tiba-tiba ada seorang ibu-ibu berbaju kaos oblong dengan berwarna coklat dancelana panjang hitam tidak terlalu ketat mendorong gerobak yang tidak terlalu besar, menghampiri Arji yang duduk tergeletak di pinggir jalan seperti halnya orang frustasi yang kalah lotre.
"dek, kenapa duduk di pinggir jalan seperti itu.?? hujan deras disini dek"
Arji tidak berkata apa-apa, dia hanya menatap lekat ibu-ibu itu seolah mencoba mengingat kembali, menelusuri setiap bayangan masa lalunya. mencoba memastikan kembali apakah betul orang yang dia maksud adalah ibunya. dan dia lihat ibu-ibu itu enbawa gerobak bertuliskan NASI KUCING. namun dia masih ragu dia coba memastikan kembali dugaan-dugaannya.
"Ibu, apakah ibu Suryani??"
"iyah saya Ibu Suyani"
"Ibu, Ibu ... Ibu ................... ini Arji bu anak ibu. ya Allah terima kasih ya Allah engkau telah menemukanku kembali dengan Ibuku"
dengan spontan Arji memeluk Ibunya, mencoba merasakan betul pelukan Ibunya, mencoba mengingat kembali pelukan dari Ibunya diwaktu 4 tahun yang lalu. sementari Ibu Suryani yang tidak bisa bekata apa-apa dia pun masih terlihat bingung dan tidak percaya bahwa yang dipelukannya saat ini adala anaknya. anaknya yang sudah empat tahun dia tinggalkan.
"ya Allah Arji, ini Arji?? ya ampun nak, kenapa kamu bisa sampai disini nak??"
"Ibu, pulang bu. Arji sekarnag sudah tidak punya siapa-siapa lagi bu, ayah udah meninggal bu. kenapa ibu tidak datang ketika pemakaman ayah bu??"
"Ayah meninggal?? innalillahi wainnaillaihi rojiun. ya Allah mas beno, maafkan aku mas"
"Ibu, pulang bu !!!, jangan tinggalin Arji lagi bu"
"iiya nak, iyaa . Ibu tidak akan membuat kesalahan yang sama. maafkan ibu nak. maafkan ibu"
tidak henti-hentinya Ibu Suryani menciumi anaknya, memeluk dengan hangat anaknya. air mata yang bercucuran tidak bosan-bosanya bergelimang.
"Ibu, ayoo bu pulang. aku gak mau kehilangan surgaku bu."
"surga??, maksutmu nak??"
"iya setelah Ibu meninggalkan aku dan Ayah, Ayah sering sekali menceritakan bahwa surga itu dibawah telapak kai Ibu. jadi aku kesini karena aku mau membawa kembali surgaku yang ada di bawah telapak kaki ibu"
dengan nada polos Arji melantunkan alasan-alasannya hingga nekat sampai disini. ibunya hanya tertawa kecil, dan dipeluknya kembali Arji, anaknya yang sudah empat tahun dia terlantarkan. dan berkata
"iya sayang, kita akan pulang"
hari ini akan mejadi hari bersejarah untuk seorang Arji, bocah berusia delapan tahun yang memiliki keinginan yang kuat, serta ambisi dan tekad untuk mencari surganya yaitu sang Ibundanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar